Dibawah ini adalah satu artikal dalam Kompas mengenai hubungan kaum dan politik di Malaysia. Ada benar dan banyak silapnya lebih-lebih lagi tentang amalan Hak-Hak istimewa Melayu yang mereka sifatkan sebagai satu diskriminasi ke atas kaum lain. Inilah padahnya jika pihak yang tidak faham akar sejarah mengutarakan pendapat. Kesimpulan saya, Lebih baik tidak bersuara kalau belum tahu hujung pangkal....
Mari Kita lihat artikal yang tersiar dalam akhbar online dari Indonesia ini:
Gemerlap Kuala Lumpur, Malaysia, dengan menara kembar pencakar langit itulah merupakan etalase keberhasilan pembangunan di Dunia Ketiga. Hanya dalam waktu tiga dekade, negeri biji timah dan sawit berubah menjadi negara industri manufaktur.
Tahun 1970-an, negara yang sekarang berpenduduk 28 juta jiwa ini tidak lebih maju dibandingkan dengan tetangganya di Asia Tenggara. Bahkan, Malaysia harus mendatangkan tenaga guru, dosen, dokter, ahli pertanian, dan tenaga profesional lainnya dari Indonesia.
Kini pendapatan per kapita Malaysia sekitar 6.500 dollar AS, jauh di atas Indonesia yang hanya sekitar 1.500 dollar AS. Diperkirakan, lebih dari dua juta tenaga kerja Indonesia mencari nafkah di negeri jiran tersebut. Ratusan ribu lainnya datang dari China, India, Thailand, Myanmar, Kamboja, Banglades, Pakistan, Filipina, dan seterusnya.
Kemajuan ekonomi dan tingginya upah di Malaysia menjadi daya pesona bagi para pekerja migrasi. Akan tetapi, di balik gemerlap tersebut, suatu pergolakan sedang berlangsung. Ia adalah politik rasial warisan kolonial Inggris, yang sekarang mirip api dalam sekam.
Diskriminasi
Dalam bahasa resminya disebut keseimbangan harmonis hubungan rasial. Namun, pada masa lalu pengelompokan masyarakat berdasarkan ras adalah pilar politik pecah belah untuk memudahkan tegaknya kekuasaan kolonial Inggris.
Sejak Malaysia merdeka tahun 1957, segregasi sosial berdasarkan ras ini bukannya dilenyapkan. Sebaliknya, konstitusi Malaysia memperkuat dengan membedakan puak Melayu atau Bumi Putra dengan non-Melayu. Selain itu, Pasal 153 UUD juga menetapkan hak istimewa puak Melayu, yang sekarang menjelma menjadi ”ketuanan Melayu”. Maka, tidak mengherankan jika peran parpol berdasarkan identitas ras tetap dipertahankan, bahkan makin dominan dari tahun ke tahun. Masyarakat India, misalnya, berhimpun di bawah partai Kongres India-Malaysia (IMC); masyarakat Melayu dengan >small 2<Umno, >small 0<dan Partai Islam Se-Malaysia (PAS); masyarakat China mengekspresikan kepentingan politiknya melalui Perhimpunan China-Malaysia (CMA), Partai Gerakan, dan Partai Aksi Demokratik (DAP). Sementara di Sabah dan Serawak, belasan parpol berdasarkan identitas etnik setempat.
Di panggung politik, membentuk pemerintahan dengan berkoalisi dengan IMC dan CMA dalam Aliansi. Koalisi ini membengkak setelah sejumlah partai gurem bergabung. Aliansi kemudian berganti nama menjadi Barisan Nasional pada tahun 1973. Saat ini Barisan Nasional terdiri atas 13 parpol dan tetap dipimpin oleh partai puak Melayu.
Inilah yang disebut sebagai ”hubungan harmonis antarras” dan dibanggakan sebagai fondasi bangsa Malaysia. Akan tetapi, tiga hari setelah pemilu 10 Mei 1969, ”hubungan harmonis antarras” terbukti sangat rawan.
Saat itu DAP dan Gerakan yang beroposisi serta berbasis masyarakat China berhasil menguasai hampir sepertiga kursi parlemen. Euforia pendukung DAP dan Gerakan berakhir dalam kerusuhan rasial yang menewaskan ratusan warga China dan India. Ratusan rumah hangus dibakar massa Melayu dalam aksi kekerasan yang dikenal sebagai peristiwa 13 Mei.
Tunku Abdul Rahman akhirnya mundur tahun 1971. Ia digantikan oleh PM Tun Abdul Razak, yang melihat peristiwa 13 Mei sebagai akibat kesenjangan ekonomi antara puak Melayu yang melarat dan non-Melayu. Ia kemudian meluncurkan kebijakan Dasar-dasar Ekonomi Baru (DEB) pada tahun itu.
Tujuannya untuk mencetak tenaga profesional puak Melayu serta penduduk asli Sabah dan Serawak melalui pendidikan. Meningkatkan aset bisnis Bumi Putra dari 2,4 menjadi 30 persen. Untuk itu, DEB menetapkan kuota bagi bagi Bumi Putra dalam berbagai aspek, termasuk dalam penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi maupun beasiswa di luar negeri.
Untuk mencapai aset bisnis 30 persen, perusahaan non-Melayu yang akan masuk ke pasar modal diwajibkan menjual 30 persen sahamnya kepada Bumi Putra. Untuk menunjang kemajuan perusahaan Bumi Putra, bank-bank negara menyediakan fasilitas kredit dengan diskon khusus. Selain itu, pelaksana proyek-proyek pemerintah diprioritaskan kepada perusahaan Melayu.
Masih banyak hal lainnya yang masuk dalam kategori ”hak istimewa” Bumi Putra. Sampai-sampai nyaris tidak masuk akal, seperti kewajiban perusahaan non-Melayu untuk mempekerjakan 30 persen karyawannya, warga Bumi Putra, prioritas perumahan yang dibangun pemerintah bagi warga Melayu dengan diskon 5-15 persen.
Selain itu, Bumi Putra mendapat prioritas dalam perizinan, memperoleh kredit perumahan maupun kendaraan. Lowongan pegawai negeri maupun BUMN diutamakan bagi warga Melayu.
Hal tabu
Kebijakan yang diskriminatif ini jelas sangat menyakitkan bagi warga negara Malaysia yang bukan Bumi Putra. Belum lama ini, misalnya, muncul keluhan karena dari 20.000 warga keturunan India yang mengajukan permohonan kredit usaha kecil tidak seorang pun yang lolos.
Diskriminasi dalam pendidikan mengakibatkan sulitnya bagi non-Melayu diterima di perguruan tinggi negeri ataupun memperoleh beasiswa kuliah di luar negeri. Adapun di sektor bisnis jauh lebih ruwet lagi. Banyak perusahaan terpaksa menjual 30 persen sahamnya di bawah nilai sesungguhnya kepada perusahaan atau perorangan dari puak Melayu. Jika tidak, rencana masuk ke pasar modal akan tertunda-tunda.
Kebijakan yang diskriminatif tersebut akhirnya menyuburkan korupsi di kalangan pejabat, elite partai dan para kroninya, termasuk proyek-proyek pemerintah, fasilitas kredit, perizinan, dan peluang menguasai 30 persen saham perusahaan non-Melayu.
Harus diakui bahwa setelah dua dekade berlalu, banyak kemajuan dicapai. Persentase tenaga profesional Bumi Putra—seperti ahli hukum, arsitek, akuntan, dan dokter—meningkat tajam hingga mencapai 30-40 persen dari keseluruhan segmen di Malaysia.
Memang, aset bisnis Bumi Putra hanya tercapai berkisar 18,5 persen. Namun, jauh di atas periode sebelumnya yang hanya 2,4 persen. Pada sisi lain, aset non-Bumi Putra meningkat dari 22,8 persen menjadi 45,5 persen. Sisanya dikuasai pemerintah dan asing.
Akan tetapi, aset Bumi Putra tersebut ternyata hanya dikuasai segelintir perusahaan kroni pejabat maupun elite Partai Umno. Akibatnya, terjadi kesenjangan sosial-ekonomi yang tajam di kalangan Bumi Putra.
Keterlibatan pejabat dan elite partai dalam distribusi aset ekonomi makin menjadi-jadi di era pemerintahan PM Mahathir Mohamad, terutama karena ambisi Mahathir mencetak kapitalis Melayu.
Maka, bukan hal luar biasa jika nilai kontrak-kontrak pemerintah digelembungkan jauh di atas harga pasar. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan dan aset pemerintah dijual dengan nilai setengah harga pasar.
Sejauh penyimpangan itu menyangkut ”hak istimewa” puak Melayu, kritik merupakan hal tabu. Apalagi, bagi Mahathir yang berkuasa selama 22 tahun (1981-2003), ”ketuanan Melayu” adalah hal keramat, final, dan tidak bisa diganggu gugat. Patokannya perubahan konstitusi tahun 1971 dan UU mengenai penghasutan, yang melarang siapa saja—termasuk parlemen—mempersoalkan ”hak-hak istimewa” puak Melayu.
Setelah DEB berakhir tahun 1990, Mahathir melanjutkannya melalui Kebijakan Pembangunan Nasional (KBP) tahun 1991. Pada era baru tersebut mulai lahir konglomerat Melayu, dua di antaranya anak PM Mahathir.
Setelah PM Abdullah tampil menggantikan Mahathir tahun 2003, situasinya tidak lebih baik. Giliran anak dan menantu Badawi yang tiba-tiba meroket jadi konglomerat.
Politik uang pelicin
Sebagai partai yang berkuasa sejak Malaysia merdeka dan sekaligus mengklaim sebagai benteng puak Melayu, Partai Umno menikmati berbagai kemudahan dalam segala sektor, bahkan membangun imperium bisnis.
Akan tetapi, semua berkah tersebut akhirnya menimbulkan dekadensi partai. Politik uang pelicin kini mendominasi pemilihan pengurus Umno di tingkat ranting hingga pusat.
Dalam penyaringan calon presiden maupun deputi presiden Umno pada Oktober lalu, misalnya, Menteri Luar Negeri Rais Yatim terpaksa membatalkan niatnya mencalonkan diri karena besarnya dana yang dibutuhkan. ”Sebaiknya, posisi kepengurusan Umno ditenderkan saja,” ujarnya kepada pers dengan nada gusar.
Nasib lebih buruk dialami tekoh senior Umno, Teungku Razaleigh Hamzah. Ia hanya didukung satu cabang partai. Padahal, minimal dibutuhkan dukungan 56 cabang agar lolos dalam seleksi. Ia mengaku menolak permintaan uang oleh pengurus cabang Umno.
Warga Malaysia non-Bumi Putra makin kecewa karena pada era informasi, Umno dan koalisinya dalam Barisan Nasional tidak berubah, tetap korup dengan mengabadikan politik rasialis warisan kolonial Inggris.
Maka, mereka mengekspresikan kemarahannya dengan memilih Pakatan Rakyat—koalisi tiga parpol oposisi—dalam pemilu Maret lalu.
Namun, situasinya menjadi mirip api dalam sekam. Ketegangan yang setiap saat dapat berubah ke arah tidak terduga.
Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/05/09220510/politik.rasialis.warisan.kolonial.di.malaysia
Mungkin harus mendengar pendapat teman-teman dari India juga yah.....atau yang lain :)
BalasPadamApa yang betulnya?:
BalasPadamHak-hak Istimewa Melayu dan Bumiputra bukan satu dikriminasi, ia merupakan salah satu perkara yang terkandung dalam Kontrak Sosial sewaktu perjanjian kemerdekaan Malaysia dari Britain antara Orang Melayu dengan orang Cina dan India sebagai syarat menerima mereka sebagai warga di negara ini.
nyata mereka membuat tanggapan sendiri dan tidak faham tentang Kontrak Sosial perjanjian kemerdekaan Malaysia.
BalasPadamnyata mereka membuat tanggapan sendiri dan tidak faham tentang Kontrak Sosial perjanjian kemerdekaan Malaysia.
BalasPadamPatut di luruskan pemberitaannya ...sehingga x terjadi salah faham lagi
BalasPadamCoba dijelaskan dengan versi sana bagaimana, supaya nggak ada kesalahpahaman terus menerus. Sepertinya salah paham ini kok kayak dipelihara gitu
BalasPadamhmmm 'Ketuanan Melayu'...rasanya kalau kite warga M'sia sudah faham cukup lah Faz...
BalasPadam"Hak-hak Istimewa Melayu dan Bumiputra bukan satu dikriminasi, ia merupakan salah satu perkara yang terkandung dalam Kontrak Sosial sewaktu perjanjian kemerdekaan Malaysia dari Britain antara Orang Melayu dengan orang Cina dan India sebagai syarat menerima mereka sebagai warga di negara ini. "
BalasPadamNah sekarang sudah jelas.......tapi sayang penulis artikel tersebut mesti tiada siapa yg menjelaskan untuknya... tapi rasanya kalau tidak tahu atau kurang jelas lebih baik DIAM atau SELIDIK DAHULU.
off topic-di perhatikan usaha untuk menyatupadukan bangsa serumpun ini selalu di mulai oleh M'sia tapi selalu di carik oleh media Indonesia yang hanya melihat dan mengira dari jauh sahaja... kenyataan di atas telah di baca oleh jutaan manusia dan secara tidak lansung memberi informasi bahawa M'sia seolah2 negara yg "di maksudkan oleh penulis"
saya kesal........
hmm saya hanya tersenyum mambaca presepsi orang ini.
BalasPadamKita ya memang faham... masalahnya: org tak faham pula menyebarkan berita kurang benar tentang kita. tentunya si penerima info akan mendapat maklumat yang salah....
BalasPadam'orang ini' itu siapa pakdin?
BalasPadamsaye ke?...kalau terasa minta maaf...
BalasPadamYang tulis di Kompas ini. Mungkin si Tjahyo Sasongko...@ Ah Song....tak mungkin si Ngadimin dari Sidoarjo atau Halimsyah dari Palembang.
BalasPadambisa jadi Pokdin he he...
BalasPadambukan saye...
BalasPadamSaya Kira penulis ini orang Pinang yang pernah kuliah di Medan :-P...hi hi hi
BalasPadamYang menulis adalah orang asal tempat Pak Din pernah menuntut Ilmu...Orang Sumut
BalasPadam