Dua tulisan saya belakangan ini berkisarkan perihal pendatang asing (terutama dari Indonesia) tentang nilai nagetif yang mereka bawa. Tulisan kali ini juga masih lagi menyentuh tentang perihal mereka. Tapi kali ini tentang nilai positif.
Tak Kenal Maka Tak Cinta (atau kata sahabat lama saya: Tak Kenal Maka Tak Kawan).
Hari ini 07.07.07, kira-kira jam 12.30 tengahari ketika saya di tempat kerja, saya menerima panggilan telefon dari kenalan saya, Kak Fatimah dan anaknya Alisdi yang baru saja mendarat di pelabuhan Melaka setelah lebih kurang 3 jam menempuh perjalanan laut dari Dumai, Indonesia. Dalam perbualan telefon itu, saya dimaklumkan bahawa mereka kini sedang menunggu bas untuk pulang ke pangkuan komuniti mereka di Kampung Kemensah, Ulu Klang.
Tak Kenal Maka Tak Cinta (atau kata sahabat lama saya: Tak Kenal Maka Tak Kawan).
Hari ini 07.07.07, kira-kira jam 12.30 tengahari ketika saya di tempat kerja, saya menerima panggilan telefon dari kenalan saya, Kak Fatimah dan anaknya Alisdi yang baru saja mendarat di pelabuhan Melaka setelah lebih kurang 3 jam menempuh perjalanan laut dari Dumai, Indonesia. Dalam perbualan telefon itu, saya dimaklumkan bahawa mereka kini sedang menunggu bas untuk pulang ke pangkuan komuniti mereka di Kampung Kemensah, Ulu Klang.
Seketika itu, saya mula terkenangkan kenangan bersama keluarga Kak Fatimah hampir setahun yang lalu. Kini, mereka pulang kembali ke Malaysia. Saya masih ingat lagi sepanjang bulan Ramadhan tahun lalu, banyak kali juga saya berbuka puasa dan bersembahyang tarawih bersama komuniti mereka di Kampung Kemensah. Sering juga saya tidur bermalam di sana dan sepanjang malam itu saya diajar cakap Kincai (Kerinci). Selalu juga saya ikut menjala ikan bersama mereka di Sungai Batu; dan pada malamnya, beberapa buah keluarga suku Kerinci ikut sama membakar ikan hasil tangkapan kami. Paling tidak dapat saya lupakan, sewaktu berpeluang mengikut Alisdi dan rakan Kerincinya pulang ke kampungnya di Sumatera. Sempat saya menghabiskan cuti tahunan selama seminggu di sana. Hubungan kami sudah seperti satu keluarga.
Kini kenangan itu mungkin bakal terulang lagi setelah kepulangan mereka ke Malaysia. Sebaik tamat waktu kerja kira-kira jam 5.30 petang, saya segera berangkat ke Kampung Kemensah untuk bertemu mereka. Sebaik sampai, Kak Fatimah telah sedia menanti. Ketika itu juga, saya dipertemukan dengan Subhi yang ikut sama datang ke Malaysia. Inilah kali pertama dia datang ke negara ini. Subhi telah saya kenal sewaktu saya di Kerinci lagi; dan kini kami dapat bertemu.
Saya jadi terharu bila dijamukan dengan ole-ole yang katanya dibawa khas untuk saya; buah salak dan dodol kentang. Terima kasih untuk itu. Lebih sayu bila menurut Kak Fatimah, telur itik yang turut dibawa bersama telah dirampas pegawai imigresen Malaysia kononnya bagi menghindar wabak H5N1. Menurut Kak Fatimah lagi, telur itu dibeli pada harga yang mahal dari orang kampung. Telur Itupun katanya untuk saya. Terima kasih Kak Fatimah.
Pada pertemuan semula ini, Alisdi dan Subhi tak sudah-sudah bercerita perkembangan kampung mereka. Kata mereka, ramai penduduk kampung sedang menanti kedatangan saya untuk kali ke-2 ke sana. Kata mereka lagi, keadaan di kampung mereka sudah bertambah meriah; sudah banyak acara, sudah banyak pesta. Semakin banyak tempat yang boleh saya lawati. Subhi sempat mengeluh, katanya biaya mengurus pasport antarabangsanya memakan sehingga Rp500,000 walaupun tanpa tambahan visa. Katanya, sangat tidak adil kerana orang miskin dan tidak berkerja sepertinya dikenakan biaya semahal itu. Lantas saya teringat seorang sahabat kita di Malang yang baru mengurus pasportnya dengan biaya sekitar Rp270,000. Saya terfikir apa sebenarnya yang berlaku?. Kata Subhi lagi, kalau tidak dapat kerja di Malaysia, dia tetap tak akan pulang biarpun selepas tempoh sebulan lawatannya telah tamat. Saya bersimpati dengan ceritanya.
Jam 8.00 malam, saya dijamu makan malam bersama beberapa orang lagi komuniti Kerinci di sekitar kawasan itu. Rupanya masih enak masakan Kak Timah setelah hampir setahun saya tidak merasanya. Sewaktu menjamu selera, Kak Timah, Alisdi dan Subhi masih terus bercerita. Masih belum puas mereka menyampaikan perkembang terbaru kampung mereka kepada komuniti Kerinci lain yang sudah lama tidak pulang kampung. Ada cerita sedih, kami turut hiba; ada cerita lucu, kami sama ketawa. Terasa indah ukhuwah ini. Inilah yang saya katakan, tak kenal maka tak cinta.
Hahaha, tanggal cantik, membawa berkah
BalasPadampercakapan orang kerinci sama tak dengan orang ocu di sumatera???
BalasPadamorang ocu tu berasal dari daerah mana? saya tak pernah dengan perkataan ocu.
BalasPadamorang ocu berasal dari daerah kampar,bangkinang,kuok.
BalasPadamsaya asli Desa binuang (bangkinang subarang)(pasar bangkinang).
Wilayah Minangkabau (menurut tambo a.k.a babat a.k.a sejarah gag jelas) batasnya dengan Kerajaan Siak Sri Indrapura adalah, "Sungai nan babaliak mudiak (sungai yang berbalik ke mudik)". Maksudnya, sungai yang berbalik ke arah mudik adalah sungai Siak. Jadi ... batas Kerajaan Minangkabau (daerah istimewa gag jadi karena apalah itu UUD 45) adalah Senapelan (Pekanbaru)
Dari sini, Kota Bangkinang seharusnya masuk daerah Minangkabau. Secara adat, memang adatnya sama persis dengan adat di Payakumbuh (ujung batas Prov Sumatera Barat ke arah RIAU)... Bahasanya sama, suku masih sama dengan suku di Minang, masih metrilinial (suku based on ibu), bukan patrilinial (suku berdasarkan suku ayah).
tapi ... saya heran .. masyarakatnya gag mau dipanggil orang Minang.. karena mereka punya panggilan sendiri ... Ughang Ocu / Ughang Kampau (orang Ocu/ Orang Kampar)
jadi ... gw bingung kalo ditanya pertanyaan ginian ... hehehehe
huh... Style kamu cakap ni dah macam orang Indonesia asli. Betul ke? ataupun hanya kelahiran indonesia tapi dibesarkan di Malaysia?
BalasPadambahasa Kerinci adalah salah satu pecahan dalam keluarga bahasa Minang. Mereka boleh memahami bahasa Minang tapi orang Minang tak faham bahasa mereka. Kecualilah kalau ada beberapa perkataan yang sama.
Mas Nono mo ke Malaysia ya faz?
BalasPadamoleh2nya dong....kaset melayu zapin...hehehe (becanda aja)
Tak tau lah dia tu? masih lagi berahsia. tapi dia selalu sebut tentang Malaysia. harap-harap dapat jumpa dia di sini. Wawan bila lagi? apa kamu selalu jumpa dia di Jakarta/Surabaya
BalasPadamaku sms-an jerr, tapi agak lama ni dia macam menghilang gitu...
BalasPadamdah aku sms pun tak de jawab....
Nanti jika benar nak ke M'sia..ajak makan nasi kandaq..dia penasaran
Oooo.. kalau dia nak makan nasi kandar yang asli, kena pergi Penang la. Kalau di KL, tak banyak, hanya ada di restoran mamak (india muslim) je.
BalasPadamHidup rahasia! rahasia is the best! hehehehehe
BalasPadammohon apa-apa maklumat yang dapat dikongsi tentang suku peliangbandjar dari genting bangkinang.
BalasPadamSdr Mohd Fazli,
BalasPadamSila layari blog:
http://groups.yahoo.com/group/orangkampau/
Kami ingin mengumpul sejarah perlayaran orang kampau ke Malaysia sejak awal tahun 1900an.
Di alu2 kan juga jika saudara war2kan blog ini kepada rakan2.
Sekian dan salam dari saya
Nurni b Abdullah.
thanks 4 sharing yach
BalasPadamif you wish to listen to lagu2 ocu plz visit my site
BalasPadamhups.. ngapolah aku sampai tecacau kat siko.. tapi tak apolah, pasal tadi cari asal-usul uang ocu di google.. dapeklah blog iko.. tapi kini histori tentang datangnya orang kampau ke malaysia tuh sedang di teliti.. di kampar kiri juga ado peninggalan kerajaan malaka, berupa bondo2 kerajaan/istana malaka zaman dulu.. tapi sejarahnyo terlalu panjang kalau disampaikan disiko.. dah bapo tahun iko pun kerajaan perak jugo menimo kedatangan uang2 pelajar dan pendidikan kampar untuk membangun kojosamo di bidang sejarah budaya.. wassalam, dari uang kampau sumatra
BalasPadamocu asa dari mano?
BalasPadam