Pemandangan di Tangkuban Perahu |
Percutian saya ke Bandung dimulakan dari Jalan Thamrin, Jakarta naik travel (sebuah van) jam 10.30 pagi waktu setempat. Biarpun hanya van, keadaannya cukup memuaskan hati. Selesanya tak kalau seperti naik bas ekspress ke mana-mana lokasi jarak jauh di Malaysia. Layanan yang diberikan pun mesra penumpang.
Kepada siapa yang belum pernah naik travel di Sumatra, tingkat beza travel di sini dengan di sana bagaikan langit dengan bumi.
Karim, rakan bloger Indonesia yang baru pertama kali saya temui hanya dapat menemani setakat sampai Jakarta. Kini kami harus berdikari. Travel bergerak perlahan-lahan menghilangkan kesibukan kota Jakarta. Perjalanan ini hanya saya isi dengan lihat pemandangam. Tercari-cari sudut desa yang mungkin sama seperti di Malaysia.
Perjalanan Jakarta dan Bandung terhubungkan oleh satu lebuhraya yang berliku di setengah kawasan. Jarak tempuh selama 2 jam. Di beberapa tempat ada kawasan rehat yang lengkap dengan gerai dan stesen minyak. Sama seperti kawasan R&R di lebuhraya Malaysia. Tapi RnR di Malaysia masih jauh lebih baik. Kawasan rehat di sini kurang lanskap di bahu-bahu jalan.
Sepanjang laluan, kawasan kilang, kampung dan sawah padi bersilih ganti. Ingin saya kongsikan keindahan ini dengan Hans dan Yus, dua rakan yang sama-sama ikut percutian ini. Sayangnya mereka tidur. Kadang melayang fikiran membayangkan saya ada di sekitar desa-desa di situ, lakukan hal biasa yang sering dilakukan warga. Tapi itu hanya mimpi, realitinya mungkin masih jauh. Hanya mengharap semoga satu masa nanti dapat berkenalan dengan sahabat yang berasal dari dearah-daerah kampung di sini. Semoga satu saat nanti.
Selamat Datang Kota Bandung. Jam sudah 1,30 petang dan cuaca hujan ketika kami sampai. Pemandangan kota Bandung beza jauh dengan Jakarta dan Surabaya. Sedikit bangunan tinggi, tapi permis perniagaan melata di sana-sini. Sayangnya sudah usang. Ada binaan baru yang dibina ad-hoc mencacatkan tata ruang.
Di kota ini, lokasi kami ialah ke Jalan Dago. Itulah lokasi seperti yang disarankan Karim. Letaknya di mana tidak siapapun tahu. Kalutnya menjadi orang asing di daerah yang belum pernah kami kenali. Akhirnya Jalan Dago berhasil ditemukan sesudah penat menapak lebih 1 jam dalam hujan. Basah lencun pakaian kami. Terima kasih orang-orang Bandung yang ramah dan mesra menunjuk jalan dan seterusnya menyarankan kami ke Hotel Royal Dago.
Alhamdullillah, Keadaan Hotel Royal Dago tidak mengecewakan.. Bajet hotel inilah satu-satunya tempat penginapan murah yang masih sedia menerima pengunjung. Bajet hotel lain semuanya sudah penuh ditempah. Kami membayar sekitar Rp165.000 (tanpa sarapan) untuk sebuah bilik superior. Cukuplah dengan kemampuan kami yang sekadar seadanya.
Melalui risikan di kaunter penyambut tamu, kami akhirnya diperkenalkan dengan Eke Rastawi (Pak Eke). Mujur, tak payalah kami bersusah-payah lagi selepas ini untuk ke mana-mana . Kesempatan ini kami gunakan untuk mengajak Pak Eke mengalas perut di sebuah restoran Padang berhampiran. Maklumlah selera Melayu, makanan Padanglah yang paling serasi di lokasi yang tidak Melayu. Hajat untuk merasa masakan Sunda tak kesampaian kerana ada antara kami yang takut untuk mencubanya.
Lokasi seterusnya, pastilah ke Tangkuban Perahu. Inilah tujuan utama kami ke Bandung selain memborong barangan tekstil yang popular dengan harga-harga yang murah tentunya. Sepanjang perjalanan menuju Tangkuban Perahu kami tempuhi kelompok desa-desa dan sebuah pekan kecil bernama Lembang. Dan sebelum sampai ke lokasi, kami tempuhi pula rimbunan pepohon ru berpayung di kiri dan kanan laluan. Juga terdapat pohon-pohon kecubung yang tumbuh mencelah. Menambah indah suasana damai di kaki gunung berapi ini. Sebelum sampai ke kawah Tangkuban Perahu, kami diminta berhenti di sebuah pondok pengawal (Indonesia = satpam). Pak Eke menyarankan kami supaya menyamar menjadi pelancong lokal kelahiran Sumatera. Menurut Pak Eke, kalau mengaku dari Malaysia, nescaya kami akan ‘diketuk’ dengan bayaran tol yang melampau-lampai. Emm, ikut sajalah… Atas saranan Pak Eke, kami bersetuju menyamar jadi pelancong dari Jambi.
Tangkuban Perahu sangat menakjubkan. Menurut penduduk sekitar, Inilah satu-satunya gunung berapi aktif yang dijadikan objek pelancongan. Dari puncak, bau belerang dapat dihidu dengan kuat. Sangat menusuk. Apalagi ketika hari hujan seperti kedatangan kami hari ini. Sayang, tak banyak foto kenangan dapat diabadikan dalam cuaca begini. Kami juga terpaksa mengelak dari dikejar penjaja cenderamata jalanan yang sangat terdesak. Kami dinasihatkan agar tidak melayan kerenah mereka.
Tangkuban Perahu mendapat namanya daripada metos Sangkuriang yang popular di kalangan penduduk setempat. Begitulah ceritanya menurut kata Pak Eke. Katanya lagi, gunung itu asalnya ialah sebuah perahu yang tertangkup. "Oh, begitu" kata kami. Kami beransur pulang sesudah warna awan bertukar jingga.
Atas permintaan Hans, kami diminta singgah sebentar di Pekan Lembang untuk untuk menjamah sate kelinci. Kelinci? Pada sesiapa yang tak pernah dengar perkataan itu, ‘kelinci’ bermaksud arnab dalam bahasa Indonesia (baca:Jawa). Selain sate kelinci, kami dipelawa mencuba ketan bakar dan air bandrek yang diperbuat dari perahan laus.
Ketan? Laus? Apakah bendanya itu? Banyak batul perkatan baru yang kami dengar. Akhirnya Pak Eke menyelesaikan kekeliruan kami. Ketan ialah pulut dan laus (Laos?) adalah Lengkuas. Sesekali terdengar penerangan Pak Eke tentang kami yang nampak serba bingung kepada pemilik gerai dalam bahasa Sunda. Pelik juga bunyinya.
Sampai waktunya menikmati makan malam, kami memilih restoran Raja Sunda di pusat kota Bandung. Juadahnya Nasi Tembil Komplit. Ia adalah juadah nasi yang berbungkus daun pisang bersama hidangan ayam goreng dan ulam-ulaman. Rasanya? Emmm... cubalah sendiri.
Tujuan kedua kami ke Bandung pastinya berbelanja sakan. Kami sempat tunaikan misi itu di Pasar Simpang di Jalan Dago dan ke beberapa buah kedai di Jalan Cihampelas. Angkutan kota menjadi kenderaan rasmi kami hari ini.
Kami juga sempat singgah bersarapan di sebuah warung tolak di sekitar Jalan Cihampelas. Menunya tetap sama, bubur ayam, soto ataupun bakso. Rindu kami untuk mencicipi citarasa Malaysia. Teringin menikmati roti canai, nasi lemak, bihun goreng, char kuetiaw dan teh tarik. Mungkin mimpilah untuk merasa itu semua kalau masih di sini.
Akhirnya semua misi terlaksana. Apa lagi yang harus dilakukan? kini tibalah masanya untuk tinggalkan Royal Dago bersama nona manis yang menjadi penyambut tamu di hotel itu. Indah rasanya kenangan di Bandung. Paling menyentuh hati, setiap pertanyaan kami pada orang-orang di sini, semuanya dibalas dengan jawapan mesra. Dan kami mendapat lebih dari apa yang sepatutnya.
Terima kasih semuanya. Selamat tinggal Bandung, kota yang mendamaikan. Kami kembali menuju Jakarta.
Suatu saat kamu pasti tiba dikotaku
BalasPadamkumahak??? damang >>>>betul tak cakap sunda saya nih yah????xixixixiixixixixixixiixixixi
BalasPadamJauh-jauh berkelana ini juga yang kau ingat yea fazli he he he he he
BalasPadamMereka menyarankan ini karena logat Sumatera tak begitu banyak beza dengan logat Semenanjung, lebih elok lagi kalian cakap saja dari Kepulauan Riau (tanjung Pinang) he he he....
BalasPadamSelamat datang... akhirnya sampai juga di Bandung. Kapan ke Surabaya lagi nih?
BalasPadamYah, gak nyeni dong kalau ke Bandung cuma cari nasi lemak, dan segala macamnya...cari dong yang khas...hahahahaa...
BalasPadamBisa-bisa kalau ke Malang aku larang makan nasi lemak nanti
mungkin nanti ke Surabaya lagi... tunggu ya..
BalasPadamya... aku lupa. Waktu itu aku hanya ingat jambi.
BalasPadamah... Jangan gitu donk!!
BalasPadamapa ertinya nih?
BalasPadamya lah Pakdin.. perut kami susah nak terima makanan kat sana.
BalasPadampasti... aku akan khabarkan bila tiba saat itu.
BalasPadamDapat salam dari Ratu Pantai Selatan tuh..hahaha
BalasPadamUntung perutku perut internasional, bisa terima makanan apa saja...meski sempat agak protes waktu makan serba kari di Malaysia kemarin
BalasPadamUntung perutku perut internasional, bisa terima makanan apa saja...meski sempat agak protes waktu makan serba kari di Malaysia kemarin
BalasPadamyaaahh perut ku juga....yang penting halallan toyiban
BalasPadamsi Aa ke Bandung kok gak ngajak2 sihh.....sayah juga mo ikutt....hi hi...
BalasPadamApakabar???baik2 saja??? itu ertinya Fazly...
BalasPadamOke....dah dulu ya Li...sampai jumpa tahun depan, aku diet SMS dulu...
BalasPadamAih, lama sangat x diupdate...sibuk ya?
BalasPadamWah, Bandung memang kota yang menarik untuk dikunjungi, waktu kami berkunjung ke sekian kali ke Bandung awal januari 2008, tempat-tempat yang menarik sangat banyak (perjalanan kami diatur oleh TotalTravel ), orang-orang di kota ini pun terlihat cukup ramah, cantik, ganteng, sopan, Mm... Bandung is my second home! :)
BalasPadampenat nak membaca... panjang cam karangan STPM
BalasPadamni pun cuma separuh yang dapat ditulis.... pengalaman sebenar, susah untuk digambarkan. Pergilah sendiri. :)
BalasPadamuntuk lidah orang melayu, susah nak suaikan rasa masakan sunda ni,inilah juga yang saya dan kawan-kawan rasakan sejak menginjakkan kaki ke tanah pasundan ni, tapi sebenarnya dibandung ni banyak tedapat kedai makan yang menyediakan masakan sumatera/melayu, yang paling banayk adalah rumah makan Padang,tapi untuk orang-orang yang betul-betul nak merasa masakan melayu, ada Rumah Makan Raja Melayu, ada juga Resto Batam, ataupon Restorant Penang.
BalasPadambetul tu. Kami lebih banyak makan masakan minang selama di sana. Opps, sudah terlalu lama cerita ini. Jadi teringat kembali
BalasPadam